Analisis Novel Ronggeng Dukuh Paruk



BAB I. PENDAHULUAN
Siapa yang tidak mengenal Ronggeng Dukuh Paruk? Sebuah novel bertema kebudayaan dan berlatar pedesaan yang digarap oleh Ahmad Tohari ini bahkan sudah pernah dilayar lebarkan sebanyak dua kali. Novel ini merupakan penyatuan tiga judul buku, Catatan Buat Emak, Lintang Kemukus Dini Hari dan Jantera Bianglala.
Dalam buku ini Ahmad Tohari berhasil membawa pembaca masuk ke sebuah dunia dimana konflik sosial dan moralitas masih begitu kacau. Dimana dinamika kehidupan seorang ronggeng dan segala keprihatinan yang ada di Dukuh Paruk menjadi fokusnya dalam novel ini.
Cerita dimulai ketika Dukuh Paruk dengan segala kecabulan dan keterbelakangannya sudah selama hampir belasan tahun kehilangan seorang ronggeng. Bagi pedukuhan ini ronggeng adalah perlambang. Tanpa seorang ronggeng pedukuh itu seperti kehilangan jati dirinya.  Di Dukuh Paruk, perempuan yang meronggeng tidak akan dianggap sebagai perempuan jalang. Justru mereka akan sangat bangga apabila ada salah satu dari keluarga mereka menjadi seorang ronggeng.
Srintil. Seorang gadis yatim piatu yang ditinggal mati orang tuanya karena keracunan tempe bongkrek, dengan usia yang masih sangat belia dimana dia masih belum mengenal lelaki pada hakekatnya, dianggap sebagai titisan Ki Secamenggala. Menurut kepercayaan warga Dukuh Paruk, Ki Secamenggala adalah keramat di pedukuhan itu.  Semua orang menganggap indang ronggeng telah menempati tubuh Srintil. Akhirnya, Srintil disetir kakeknya agar mau menjadi seorang ronggeng. Terhimpit oleh kemiskinan, menjadi seorang ronggeng berarti menjanjikan sebuah kemapanan. Itu satu diantara alasan mengapa Srintil mau menjadi Ronggeng.
Dalam waktu singkat, Srintil pun membuktikan kebolehannya menari disaksikan orang-orang Dukuh Paruk. Sebagai seorang ronggeng, Srintil harus menjalani serangkaian upacara tradisional yang puncaknya adalah menjalani upacara bukak klambu, yaitu menyerahkan keperawanannya kepada siapa pun lelaki yang mampu memberikan imbalan paling mahal.
Seorang pemuda bernama Rasus justru merasa kecewa dan sedih mendengar penobatan Srintil karena ia sangat mencintai Srintil. Baginya Srintil adalah gambaran Emak yang tidak dimilikinya sejak kecil. Sama seperti Srintil, Rasus juga kehilangan orang tuanya akibat malapetaka tempe bongkrek yang menimpa Dukuh Paruk.
 Apabila Srintil menjadi ronggeng, berarti gadis itu menjadi milik semua orang. Setiap orang akan bebas meniduri Srintil karena memang begitulah kehidupan seorang ronggeng. Dengan keputusasaan dan perasaan muak, akhirnya Rasus memutuskan untuk pergi meninggalkan Dukuh Paruk.
Setelah di tinggalkan Rasus, Srintil sadar bahwa dia mencintai Rasus. Srintil sendiri bisa merasakan dirinya keluar dari keakuannya. Sedikit demi sedikit Srintil mengenal dirinya dari sisi lain. Bukan perempuan milik bersama, melainkan seorang perempuan dalam arti yang paling bersahaja. Dia merasa tidak utuh tanpa kepastian seorang laki-laki berada dalam hidupnya.
Srintil kehilangan daya untuk menari. Ia tidak mau melayani orang-orang yang menyewa tubuhnya. Dukuh Paruh yang tidak pernah berharap melihat seorang ronggeng menangis. Ronggeng bagi dunia Dukuh Paruk adalah citra sekaligus lambang gairah dan suka cita. Keakuannya adalah tembang dan joget. Perhiasannya adalah senyum dan lirikan mata yang alami.
Tidak cukup hanya bercerita tentang kisah seorang penari ronggeng yang jatuh cinta kepada Rasus seorang tentara, Ahmad Tohari dengan cerdas  menghiasi cerita dengan  pola pikir dan budaya masyarakat Dukuh Paruk yang sangat dipengaruhi oleh keadaan ekonomi dan tingkat pendidikan.
Masyarakat yang miskin dan terbelakang membuat dukuh tersebut hancur secara fisik maupun mental  ketika terjadi geger politik. Kebodohan membawa Dukuh Patuk ke dalam malapetaka yang ke dua kalinya. Pedukuhan itu dibakar. Ronggeng beserta para penabuh calungnya ditahan tak terkecuali Srintil.
Pengalaman pahit sebagai tahanan politik membuat Srintil sadar akan hakikatnya sebagai manusia. Karena itu, setelah bebas  dari penjara ia berniat memperbaiki citra dirinya. Ia berhenti menjadi ronggeng. Namun cobaan-cobaan lain silih berganti menerpa Srintil. 

BAB II. PEMBAHASAN
A.    Tema
Tema yang digunakan  pengarang dalam  novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk adalah kebudayaan. Kebudayaan yang dimiliki oleh sebuah kampung yang disebut  Dukuh Paruk. Ronggeng adalah konsentrasi temanya. Ahmad Tohari juga bercerita tentang kehidupan sederhana dan kebiasaan masyarakat pedalaman yang cenderung seperti ada pada zaman primitif. 
Dalam novel ini tidak hanya unsur budaya saja yang dapat kita  petik. Unsur-unsur lain seperti politik pun menghiasi jalan cerita dalam buku ini.

B.     Alur
Dalam novel Trilogi Ronggeng Dukuh paruk ini, Ahmad Tohari menggunakan alur campuran, yaitu ceritanya terkadang melaju ke masa depan, namun juga terkadang mengulas masa lalu. Lihat kutipan berikut.
“Sebelas tahun yang lalu ketika Srintil masih bayi, Dukuh Paruk yang kecil basah kuyup tersiram hujan lebat. Dalam kegelapan yang pekat, pemukiman terpencil itu lengang, amat lengang.” (Tohari, Ronggeng Dukuh Paruk, hlm.  21)
Ahmad Tohari tidak hanya bercerita tentang apa yang terjadi di depan, tetapi ia juga dengan pandai menyisipkan cerita masa lalu warga Dukuh Paruk. Masa lalu tersebut merupakan sebuah malapetaka yang terjadi di Dukuh Paruk yang membuat banyak anak-anak kehilangan orang tua mereka, begitu juga Srintil dan Rasus.
“Seperti Ayah, Emak juga termakan racun. Bila Ayah langsung meninggal pada hari pertama tidak demikian halnya dengan Emak. Dia masih hidup sampai seorang mantra datang pada hari ketiga.” (Tohari, Ronggeng Dukuh Paruk,  hlm. 4)
Tidak  hanya anak-anak yang kehilangan orang tua mereka yang Ahmad Tohari coba tekankan, melainkan tentang sebelas tahun yang lalu, malapetaka tempe bongkrek juga telah menyebabkan matinya seorang ronggeng yang membuat pedukuhan itu kehilangan gaungnya.
           
C.     Sudut Pandang
Dalam buku pertama, Catatan Buat Emak sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang orang pertama serba tahu. Ahmad Tohari memasukkan sudut pandang keakuannya pada tokoh Rasus yang dibuat seolah tahu semua hal yang terjadi pada semua tokoh lainnya yang terdapat dalam novel ini.
Sedangkan dalam buku ke dua dan ke tiga, Lintang Kemukus Dinihari dan Jahtera Bianglala, sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang orang ketiga serba tahu. Di sini Ahmad Tohari sebagai orang ketiga yang berada di luar cerita.


D.    Latar
a.       Latar waktu
 Peristiwa yang diceritakan ini berhubungan dengan keadaan politik pada masa revolusi lahirnya orde baru yaitu pada tahun 1965.
b.      Latar tempat 
Latar tempat secara umum adalah di sebuah pedukuhan yang biasa disebut Dukuh Paruk. Hal ini dibuktikan dengan adanya petikan berikut.
“Dua puluh tiga rumah berada di pedukuhan itu, dihuni oleh orang-orang seketurunan.” (Tohari, Ronggeng Dukuh Paruk, hlm. 10)
Latar tempat lainnya adalah
-          Pasar Dawuan
Pasar Dawuan menjadi pasar yang menjajakan segala keperluan orang-orang Dukuh Paruk. Pasar ini juga merupakan setting ke dua setelah Dukuh Paruk dimana banyak peristiwa dalam novel yang terjadi di sini.
Biasanya kedatangan Srintil di pasar Dawuan menimbulkan gairah yang spontan. Orang-orang lelaki bersiul-siul atau membuat seloroh erotik..” (Tohari, Ronggeng Dukuh Paruk,  hlm. 125)
-          Alaswangkal
Alaswangkal adalah tempat dimana Srintil menjadi gowok, atau seorang perempuan yang disewa oleh seorang Ayah bagi anak lelakinya yang sudah menginjak dewasa.

-          Penjara
“Yang tinggal dalam penjara darurat itu hampir dua ratus orang, beberapa belas di antaranya perempuan.” (Tohari, Ronggeng Dukuh Paruk, hlm. 247)

E.     Penokohan
Tokoh-tokoh  penting dalam  novel  trilogi Ronggeng  Dukuh  Paruk adalah  sebagai  berikut.
a.       Rasus
Rasus sebagai tokoh utama dalam novel ini digambarkan sebagai seorang pemuda yang kuat. Saat dewasa ia menjadi seorang tentara dan ingin mengangkat harkat dan martabat masyarakat Dukuh Paruk. Tetapi, walaupun Rasus adalah seorang tentara yang semestinya memiliki sikap tegas dan jauh dari melankolis ternyata ia  masih memiliki hati yang halus. Dengan latar belakang masa lalu yang menyakitkan, Rasus membawai sifat rapuh namun memiliki rasa persaudaraan yang tinggi.
b.      Srintil
Srintil adalah perempuan  cantik yang dianggap sebagai wanita titisan Ki Secamenggala. Sejak kecil Srintil bercita-cita menjadi seorang ronggeng sehingga ia sangat lincah menari dan ia benar-benar mewujudkan mimpinya. Di balik kecantikaan dan kemewahan yang dimiliki Srintil sebagai seorang ronggeng, Srintil tetaplah hanya seorang perempuan yang lemah dan  tidak berdaya. Meskipun begitu, Srintil memiliki jiwa keibuan yang  sangat besar.
c.       Sakarya  
Kakek Srintil ini memiliki sifat kolot dan keras. Ia hanya bisa menalar bahwa  di Dukuh Paruk ronggeng adalah sah adanya, dan memuja Ki Secamenggala adalah keharusan. Tetapi meskipun Sakarya memiliki sifat keras sebenarnya ia adalah seorang penyayang.
d.       Nyai Sakarya
Nyai Sakarya adalah nenek Srintil, ia mempunyai sifat penyayang, penyabar dan peduli kepada orang lain, namun dia tetap tunduk pada nasibnya sebagai rakyat kecil.
e.       Sakum
Seorang penabuh gendang yang memjiliki keterbatasan fisik. Ia adalah seorang buta yang tekun, baik, dan optimis akan hidupnya,
f.       Ki Kertareja
Sama seperti Sakarya, Ki Kartareja juga memiliki sifat kolot dan keras. Namun dia juga merupakan seseorang yang licik.
g.      Nyai Kartareja
Nyai Kartareja memiliki sifat materialistis, pandai membujuk, dan licik.
h.      Goder
Anak angkat Srintil.
i.        Sersan Pujo
Sersan Pujo adalah orang yang baik dan tegas.

j.        Marsusi.
Marsusi digambarkan sebagai orang jahat, hidung belang, dan pendendam.
k.      Bajus
Bujang tua yang baik kepada Srintil namun jauh dari perkiraan. Srintil sempat akan dijadikannya umpan demi proyek tendernya lolos.
l.        Pak Blengur
Bos besar pemegang tender pembuatan jalan, jembatan dan gedung bupati (majikan Bajus). Lelaki petualang cinta dari satu perempuan ke perempuan lainya namun terketuk hati dan kesadarannya karena Srintil.
m.    Lurah Pecikalan (kepala desa)
Bijaksana dan peduli akan penduduknya.

F.      Amanat
Amanat dalam novel ini adalah kita disarankan belajar bagaimana untuk menjadi wanita seutuhnya melalui sosok Srintil dan tokoh-tokoh lain dalam cerita.
Novel ini juga mengamanati bahwasannya menjujung tinggi sebuah tradisi buakan alasan kita untuk tidak mau membuka mata pada pendidikan karena sebuajh tradisi dan kepercayaan saja tidak akan menjamin keberlangsungan hidup kita.

G.    Komentar
Menurut saya novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk  mencoba menyampaikan bahwasannya keterbatasan hanya pada satu pemahaman tidak akan membuat kemajuan yang lebih pada kehidupan.
Warga Dukuh Paruk boleh saja bahkan memang seharusnya menghargai adat yang berlaku sudah sekian lamanya. Sebagai  masyarakat pribumi memang sudah sewajarnya mereka melestarikan dan mempertahankan kebudayaan tersebut. Namun, kebanggaan dan penghargaan terhadap suatu kebudayaan yang  kita miliki tersebut jangan sampai menutup mata kita terhadap kehidupan di luar lingkungan kita. Sehingga  kita tidak  buta sama sekali tentang kenyataan kehidupan di luar kampung kita sendiri.

H.    Kekurangan dan Kelebihan
a.       Kekurangan
Yang paling menonjol dalam buku ini adalah banyaknya penggunaan kata-kata tidak seronok dan kasar seperti asu buntung, bajul buntung dan umpatan-umpatan lain seperti jangkrik dan bajingan. Mungkin umpatan-umpatan ini memang sengaja disisipkan supaya memperkuat karakter dan suasana pada masa itu, namun dalam kenyataannya kita tidak tahu siapa saja yang membaca buku tersebut dan apakah mereka dapat menyerap dengan baik arti dari penggunaan kata-kata tersebut.
Ahmad Tohari menggunakan alur campuran dalam buku ini. Ia menceritakan tentang masalalu Rasus dan Srintil. Namun dalam cerita tersebut seolahj ada yang hilang, yaitu proses Rasus tumbuh dewasa dan menjadi tentara. Ahmad Tohari seakan menghapus bagian itu dari isi buku. Padahal, sisipan suasana desa dan kejadian-kejadian lain ia ceritakan begitu detail.

b.      Kelebihan
Novel ini tidak hanya bercerita tentang satu masalah. Dengan membaca Ronggeng Dukuh Paruk, secara tidak sadar kita  tengah membaca sejarah. Hal-hal yang dulu tersensor dalam novel, kini dapat kita baca secara utuh, yaitu tentang terjadinya geger politik G30S/PKI.  Meskipun alur yang digunakan meloncat-loncat, ini justru menumbuhkan rasa penasaran dan ingin segera melahap keseluruhan isi buku secepatnya


BAB III.  PENUTUPAN
            Ahmad Tohari berhasil membawa kita masuk kedalam sebuah kisah yang bisa dikatakan kompleks. Bukan hanya pergolatan batin seorang ronggeng yang membuat cerita dalam buku ini semakin apik untuk dibaca, melaikan juga Dukuh Paruk dengan segala kebodohan,  keluguan, dan keterbelakangannya yang harus menelan pil pahit karena dilibatkan dalam kekacuan politik pada waktu itu membuat dua campuran rasa yang menawan.
             Sekalipun tak terlalu mengupas banyak soal pemberontakan tersebut, Ahmad Tohari lagi-lagi dengan apik menggambarkan bagaimana sejarah perpolitikan berpengaruh sangat banyak terhadap kehidupan individu manusia.

 

 




Komentar

Postingan Populer