Mau Dikasih Judul Apa? #1
1
Setelah
memesan omlet dengan sepring nasi, aku kembali menekuni Keluarga Gerilnya karya
Pramudya yang aku pegang. Mbak Lia ada di sebelahku dan Sheyla di hadapannya.
Mereka tengah mengobrolkan hal-hal menarik yang pernah terjadi di kampung
halaman mereka. Malam ini, aku tidak menaruh minat dengan perbincaraan itu
dan lebih tertarik dengan buku yang aku
pegang.
Tiba-tiba di tengah keseruan obrolan Sheyla dan Mbaknya, serta keseriusanku membaca bait-bait kalimat, seseorang menyodorkan tangan di hadapanku. Memaksa aku menurunkan bukuku. Aku melirik ke arahnya. Orang itu langsung tersenyum. Sepertinya ia memang tengah menunggu aku memalingkan mataku dan memandang dia. Entah lah.
Tiba-tiba di tengah keseruan obrolan Sheyla dan Mbaknya, serta keseriusanku membaca bait-bait kalimat, seseorang menyodorkan tangan di hadapanku. Memaksa aku menurunkan bukuku. Aku melirik ke arahnya. Orang itu langsung tersenyum. Sepertinya ia memang tengah menunggu aku memalingkan mataku dan memandang dia. Entah lah.
“Aku
Yofa” dengan senyum menghiasi bibirnya.
Aku
menatapnya datar. Apa-apaan ini? Mengajakku berkenalan? Dengan tangan kanan
menopang dagu dan tangan kiri memegang buku, aku mengarahkan mataku kepadanya. Menelisik wajah
dan matanya. Apakah ada yang salah dengan orang ini?
Saat ia
hendak menarik kembali tangannya, aku melepas tangan kananku dari dagu yang ku
topang dan balas menjabatnya.
“Elia” jawabku singkat.
Aku kembali memalingkan perhatianku kepada Pramudya. Kembali membangun konsentrasi yang buyar.
“buku apa?” Tanya pria itu. Eh, maksudku Yofa.
“Pram.” Jawabku datar tanpa ekspresi.
“Elia” jawabku singkat.
Aku kembali memalingkan perhatianku kepada Pramudya. Kembali membangun konsentrasi yang buyar.
“buku apa?” Tanya pria itu. Eh, maksudku Yofa.
“Pram.” Jawabku datar tanpa ekspresi.
“Suka
baca yah?” tanyanya lagi.
Aku hanya
menjawab dengan sekali anggukan kecil.
“Hehe, boleh pinjem nggak?” Astaga.. Maunya apa sih orang ini?!
“Hehe, boleh pinjem nggak?” Astaga.. Maunya apa sih orang ini?!
“Belum
kelar” Meskipun merasa sangat terganggu, aku tetap meladeni si kunyuk
pengganggu ini. Yah.. walaupun nada datar tak mampu ku hindari.
“Besok
udah selesai kan? Besok aku minjem ya?” Emang Lu siapa? Pikirku dalam hati. Tapi
akhirnya, aku menjawab dengan anggukan kecil. Setelah itu, Mang Adip, koki
sekaligus pelayan di Burjo Amanah datang membawa pesanan kami masing-masing.
Tidak ada percakapan lagi antara aku
dengan Pria itu, maksudku, tidak ada lagi perakapan antara aku dengan Yofa.
Kami menikmati makanan masing-masing. Aku
dengan omletku, Mbak Lia dengan nasi sardennya, Sheyla dengan mie
dog-dognya, dan masih di hadapanku, Yofa dengan.. entahlah, aku tidak
memperhatikannya lagi.
2
Pedal
sepeda ku kayuh dengan santai. Sekarang masih pukul 08.15. Masih ada waktu
sekitar setengah jam untuk aku menikmati pagi sebelum bertemu dengan dosen di
kelas. Soal kejadian tadi malam, aku tak mengingat-ingat lagi. Pinjam buku? Tunggu
saja sampai karatan, malam ini aku tidak mau bertemu denganmu dan menyerahkan
buku ini. Sesampainya di tempat parkir sepeda, aku menggerendel roda depan
dengan pengaman sepeda. Lalu berjalan meninggalkan sepedaku.
“hei,
Elia!” aku menoleh seseorang telah memanggilku ketika aku hendak melewati pintu
loby. Aku menengok dan mendapati seseorang tengah duduk di bangku panjang di
sebelah pintu masuk loby. Artinya, bangku dan orang yang duduk di atasnya tadi
aku abaikan begitu saja saat melewatinya. Aku tak mengenal orang in.. Oh! Yofa!
Si pengganggu itu. Kenapa sampai bertemu di sini Tuhan.. hiks! Males.
“ya?”
jawabku datar.
“mana
bukunya?” astaga.. dia benar-benar ingin membaca buku itu, atau hanya alas an
saja? Jika aku boleh berfikir negative, ini hanya alas an dia untuk kembali
menemuiku.
“mau di
balikin”
“kan aku
udah bilang mau pinjem.” Ia memamerkan wajah kecewanya. Aku pikir, orang ini
penuh ekspresi. Segala ekspresi yang keluar dari wajahnya sangat mudah
tertangkap. Heh, ia tdak pandai berbohong kalau begitu.
“hari ini
harus dibalikin, kalo nggak bakal kena denda” jawabku jujur.
“aku yang
bayar deh dendanya.. yaya?” dengan ekspresi memelas. Aku memicinkan mata kiriku
tanda keheranan. Ya, heran. Buku seperti ini kan banyak di perpustakaan di
dalam sana. Kenapa nggak minjem sendiri? Heran. Kenapa masih aja nongol setelah
semalam bahkan aku terlihat tidak
respect sama sekali padanya? Kenapa nekat minjem ke aku? Nggak ada orang lain?
Tapi toh, aku mengulurkan buku itu padanya. Jangan Tanya kenapa! Aku juga
heran.
Setelah
buku itu berpindah tangan, aku kembali melangkahkan kakiku, dan ketika aku
berada di ambang pintu aku kembali mendengar seruan.
“Ei!”
Aku menengok dan memandang kearahnya.
“Kalo
aku nggak balikin buku ini, emang kamu tahu di mana harus menemukan aku?”
Tanyanya. Ku jawab dengan gelengan kepala. Dia berdiri, menghampiri motor yang
sengaja di parkir di depan teras loby, membiarkan aku menunggu kata apa lagi
yang akan meluncur dari mulutnya. Saat ia menaiki motornya, aku hendak bertanya
di mana, tapi urung karena dia mulai menyebutkan asal-usulnya.
“Cari
aja di Fakultas Pertanian. Yofa Affudin. Agroteknologi kelas B. Angkatan 2012.
Aku ada di kampus mulai jam 8 sampai jam 3 sore. Duluan ya? Thanks bukunya”
Kalimat itu di luncurkan dengan jeda yang singkat. Samasekali tdak memberiku
kesempatan untuk menjawab atau menyangkal. Akhirnya aku hanya
menggeleng-gelengkan kepala dan menuntun kakiku menuju kelas. Kamu Tanya
perasaanku? Entahlah. Tidak peduli? Ya, tadinya. Penasaran? Tidak begitu,
tadinya. Sudahlah. Sudah pukul 8.30, lima belas menit lagi kelas di mulai.
3
Sudah seminggu dia tidak menunjukan
batang hidungnya. Sungguh orang yang tidak bertanggung jawab. Sekarang pukul
berapa? 14.30? Baiklah. Akan aku hampiri
dia! Tunggu dulu. Siapa kemarin namanya? Yofa Marahudin? Bukan, bukan. Terlalu
jauh. Yofa Affandi? Tidak.tidak. Harus ada kata ‘Udin’ di belakangnya. Ah! Affudin!
Baiklah. Tunggu saja.
Aku
berjalan menghampiri sepedaku, melepas gerendelnya, lalu mengayuh pedalnya
dengan cepat. Fakultas pertanian letaknya tidak jauh dari kampusku, Ilmu Budaya.
Di sebelah kampus Ilmu Budaya adalah Fakultas Peternakan dan Fakultas Pertanian
ada di sebelahnya. Sesampainya di depan gerbang fakultas pertanian aku
memelankan laju sepedaku. Mengayuhnya dengan lambat menuju tempat parkir khusus
sepeda, sambil berharap menemukan wajah Yofa yang belum aku ingat sepenuhnya.
Setelah
memarkir sepeda, aku berjalan menelusuri lorong kampus. Di mana aku harus
menemukan Yofa? Ada lima gedung di sini. Apakah aku harus memutari semua
gedung? Itu akan melelahkan sekali. Lalu aku berjalan saja mengkuti kakiku. Setelah
mengelilingi tiga gedung yang bertingkat tig,a aku merasa lelah dan memutuskan duduk
di sebuah bangku.
“eh
mas, maaf, kalo gedung yang biasa di pakai anak-anak agrotek yang mana yah?”
tanyaku ketika mendapati mahasiswa yang kebetulan lewat di depan bangku yang
aku duduki.
“Di
sini mba, gedung C. Nyari siapa emang?” Rupanya di sini, pikirku.
“
Yofa mas, kenal? Angkatan 2012”
“Yofa?
Emang ada yang namanya Yofa di 2012?” Tanya mas-mas kepada temannya.
“Si
Udin kali, bocah teater” jawab mas-mas yang ada di sebelahnya. Udin? Kenapa Udin?
Ah, ya, nama lengkapnya.
“oh
iya mas, Yofa Affudin!” jawabku hampir berteriak.
“Cari
aja di sekre (sekretariat) teater, sekrenya di sana tuh, dari sini lurus,
mentok belok kiri” sambil menunjuk arah ke mana aku harus melangkah.
“oke
mas, tengkyu ya!” Aku lalu berlari mengikuti arah yang ditunjukan tadi. Aku
merasa puas karena tau akan menemukan laki-laki itu. Aku ingin sekali memakinya.
4
“mbak,
maaf, sekre teater ini bukan?” aku bertanya pada mbak-mbak yang sedang berdiri
di bawah cermin membenarkan letak jilbabnya.
“iya
di sini. Nyariin siapa? Masuk aja” jawabnya akrab.
“Yofa
ada di dalam?” tanyaku lagi.
“oh
yofa. Diiinnn! Udin! Di cariin cewek! Masuk aja dih,” Aku tersenyum terimakasih
dan masuk ke dalam sekre setelah mengucap permisi pada mbak-mbak itu. Mataku
berkeliling menyapu ruangan selebar 3x4 meter, mencari sosok Yofa dan
menemukannya duduk di pojok ruangan bersama empat orang temannya, terlihat berdiskusi.
“ehem,
maaf? Ada Yofa?” aku bertanya dengan
tatapan langsung kepada orang yang ku anggap sebagai Yofa. Orang yang aku tatap
lalu menengok dan nyengir setelah melihatku berdiri di ambang pintu. Tidak
salah lagi, dia Yofa.
Yofa
beranjak dari duduknya sambil mengucap “sebentar ya,” kepada teman-temannya.
Aku pikir dia akan langsung menghampiriku, ternyata tidak. Dia berjalan ke arah
rak yang tergantung di tembok yang lurus dengan pintu tempatku berdiri dan
mengambil Keluarga Gerilya milikku. Maksudku, milik perpustakaan yang dipinjam
olehku lalu dipinjam lagi oleh Yofa.
“Hehe,
maafin yah, kamu jadi datang ke sini deh, nyariin aku” Ucap Yofa sambil menggaruk
belakang kepalanya. Aku diam, tidak menjawab.
“Di
luar aja yuk! Sumpek di sini” Yofa tiba-tiba menarik lengan kananku dan
membawaku keluar. Aku, entah mengapa, pasrah saja. Padahal tadi sebelum aku ke
sini, amarah rasanya sudah ada di
ubun-ubun.
“Dela,
lu minggir dong, cewek gue mau duduk. Hush ah huss pergi!”
Apah?! Cewek siapa?!
“Resek lo!” Aku
urung menolak perkataan Yofa karena cewek yang di panggil Dela, mbak-mbak yang aku
tanyai tadi, menggerutu sambil beranjak masuk ke dalam sekre.
“Duduk
Elia” Dengan senyum mengembang dan dengan gayanya yang meniru seorang pangeran mempersilahkan
putrinya duduk.
“Basi
lo! Jadi lo sengaja mancing gue ke sini hah?”
“Kalem,
kalem..duduk dulu Elia” jawabnya santai.
“Nggak
perlu! Mana bukunya?”
“Perlu,
duduk dulu Elia, nanti bukunya aku kasih, duduk dulu” Aku semakin memuncak. Tapi
lalu aku mendudukan pantatku dengan kesal.
“Elia
ngapain si marah-marah? Buang-buang tenaga tauk”
“Mana bukunya?” tanyaku dingin.
“Ini bukunya, terimakasih yah udah
dipenjemin dan mau susah-susah ngambil ke sini, hehe” Dengan muka tak berdosa, dengan
tangan kanan menggaruk kepalanya, dia menyerahkan bukunya. Samasekali terlihat
tak merasa bersalah.
“sama-sama!” setelah menyambar buku
dari tangan Yofa, aku buru-buru beranjak dan pergi.
“eh, sebentar!”
“apa lagi?”
“kan tadi kamu nanya, dan aku juga
nanya, kita belum saling jawab” Aku hanya mengernyitkan dahi dan pergi meninggalkan
Yofa yang tetap dengan muka innosensenya berdiri di sana, di depan dua buah kursi
kayu.
BERSAMBUNG ke Mau Dikasihj Judul Apa? #2
BERSAMBUNG ke Mau Dikasihj Judul Apa? #2
Komentar