Kau manusia utopis
Kau selalu membalut dirimu dengan putih hitam. Menjadi abu-abu
yang pekat tanpa memihak pada sisi manapun. Berjalan terseok di atas carut
marut bayang-bayang kosong. Tunggu apa? Masih ingin di sini? Berada dalam dunia
yang bahkan lebih dari utopia?
Tidakkah gendang
telingamu mendengar angin berbisik padamu, mineral yang kau tuang ke dalam
gelas berbisik padamu. Ayolah, bukan skak yang harus kau nikmati, bukan.
Jangan diam, membiarkan karat menggerogoti keniscayaan yang
tersisa. Membiarkan sinar tak mau lagi memberimu bayang. Tetap bergumul bersama
hidupmu yang abu-abu. Tidakkah kau lelah?
Ya Tuhan, tubuhmu saja sudah berbicara retorika. Tanpa
denyut. Dengan cahaya kemauan yang samar. Sedikit lagi saja, samar itu akan
berlari ke dalam hilang.
Bukan di fase ini kau harus berhenti. Apakah kau ingin
membiarkan agar semua menjadi pudar? Hingga semua eksistensi yang pernah ada
pun turut menghilangkan diri.
Realita memang tak mau berjabat lembut. Ekosistem tak mau
melenturkan dirinya. Tapi waktu masih mau, berkonspirasi dengan baik asal kau
juga mau membuang hari ini dan kemarin, ke dalam lubang masa lalu.
Ah, sudahlah.
.
Komentar