Aku Terlalu Bodoh untuk Berkata 'Aku Rindu' #1

“Kau pulang.”  Aku tetap dalam dudukku,  menatap jalannan aspal yang basah di hadapanku.
“Ya.. Kau rindu?” tak juga menatap ku. Kau sama, menatap jalanan aspal yang basah karena gerimis tadi.
Aku nyengir.  Ironis! Kau bertanya aku rindu? Bukankah itu merupakan sebuah pertanyaan retoris yang  benar-benar aku tak perlu menjawabnya? Dan tentulah kau pasti tahu, aku rindu. Rindu yang lebih dari rindu. Apakah aku harus menjawabnya? Huh?
“Aku?” tanyaku.
“Ya..”
“Apakah aku terlihat rindu?”  Kau menoleh demi mendengar pertanyaanku. Ini adalah untuk pertama  kalinya kau menatap wajahku sejak kepulanganmu, sejak kita berjumpa di sini setengah jam yang lalu, tanpa kata.
“Apakah kau melihat kerinduan pada diriku?” Ku ulangi pertanyaanku itu dengan tetap menatap jalannan aspal yang sepi dan basah. Ada sesuatu yang menggelitik tapi menyesakkan di dada ketika aku tahu, untuk pertama kalinya kau akhirnya menatapku demi mendengar tanyaku.
“Aku tahu” tanpa memalingkan matamu dariku.
“Apa?”
“Apakah kau benar-benar  tak ingin melihatku?”
Heh, apa? Aku apa? Tidak ingin melihatmu? Oh Tuhan.. aku sampai harus jungkir balik menunggu kau yang tak kunjung datang. Aku sudah rindu. Rindu sekali ingin bertemu. Ingin sekali menatapmu, menumpahkan rindu yang terus menggelayutiku. Aku rindu. Rindu yang lebih dari rindu. Apakah aku harus menjawab pertanyaanmu ini? Huh? Apakah kau tak bisa membaca rautku yang terus menatapmu melalui pipi kananku?
“Apa aku harus  benar-benar menjawabnya?”  tanyaku lagi. Aku semakin sesak. Kapan ini akan berakhir? Aku jenggah dengan suasana seperti ini.  Kau, bertanyalah sekali lagi -apakah aku rindu. Maka aku akan benar-benar menjawabnya dengan mataku.
“Ya. Jawablah! Apakah kau rindu?” Dan kau tetap sabar. Mengulang pertanyaan retorismu.
Aku menoleh. Ini adalah untuk pertama  kalinya aku menatap wajahmu  dengan mataku terbukan lebar, sejak kepulanganmu, sejak kita berjumpa di sini, lebih dari setengah  jam yang lalu, berbicara tentang rindu.
“Tidak. Sama sekali tidak.” Itu adalah jawaban mulutku. Kau ingin tahu yang sebenarnya? Lihat! Mataku berbicara bahwa aku rindu. Kau bisa menerjemahkan arti tatapan ini kan?
“tentu saja tidak” dengan sinis kau mepertegas jawabanku.
Astaga.. kau tak bisa membacanya?  Bodoh sekali aku. Mana  mungkin kau bisa menangkap isyarat  hatiku. Aku lupa, kau sama sekali tidak peka.
Jangan tundukan kepalamu! Tanyakan sekali lagi. Aku mohon, benar-benar hanya sekali lagi.. tanyakan apakah aku rindu.
“baiklah, aku akan pergi lagi pekan depan. Semoga kau benar-benar tak merinduanku.” Ini adalah kalimat terakhir. Penutup pembicaraan kita yang canggung. Kau pergi. Meninggalkan  tempat dudukmu –dan aku- dan melangkah gontai di atas jalannan aspal yang semakin lembab dan basah karena gerimis kembali turun.

Aku tetap bergeming, sibuk menyalahkan kekeraskepalaan dan egoku. Kenapa tak kukatakan saja aku rindu? Aku bodoh.  Bodoh sekali. Bahkan untuk menyesalpun aku tak berani, karena itu akan membuatku semakin bodoh.

*kau pergi. Aku menatap punggung mu yang terus berlalu dengan sudut mataku yang kini basah, bukan karena gerimis, tapi karena air mata kebodohanku yang tak mampu berkata ‘aku rindu’.


Hohoho latihan menuangkan galau, kurang lebihnya saya mohon maaf  :p 28/8/12: 07:46

Komentar

Postingan Populer